Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan janji kesejahteraan, sebuah fakta tersembunyi seringkali luput dari perhatian publik: penetapan standar kualitas asupan gizi masyarakat seringkali lebih banyak didorong oleh manuver politik ketimbang rekomendasi ilmiah dari para pakar. Ironi ini menjadi gambaran nyata bagaimana kesehatan fundamental warga negara bisa menjadi komoditas tawar-menawar di meja kekuasaan. Ini bukan sekadar isu teknis, melainkan cerminan prioritas elite pengambil keputusan.
Menggeser Fakta Ilmiah dengan Bujet Politik
Keputusan strategis terkait pangan, subsidi pertanian, dan program kesehatan masyarakat, yang secara langsung menentukan kualitas asupan gizi jutaan penduduk, kerap kali diambil dalam rapat-rapat tertutup dengan agenda yang didominasi oleh pertimbangan fiskal dan elektoral. Para ahli gizi, epidemiolog, dan pakar pangan seringkali hanya berfungsi sebagai pemberi stempel, atau bahkan sepenuhnya diabaikan.
Ambil contoh penentuan jatah bantuan pangan. Alih-alih merujuk pada kebutuhan kalori, mikronutrien, dan diversitas pangan yang direkomendasikan secara ketat untuk mencapai kualitas asupan gizi optimal, komposisi paket bantuan sering kali disesuaikan dengan stok komoditas yang tersedia, lobi-lobi kelompok usaha tertentu, atau kemampuan anggaran daerah. Dampaknya, masyarakat menerima asupan yang sekadar “mengenyangkan,” namun miskin nutrisi vital. Fenomena ini, yang terjadi di berbagai daerah termasuk yang tercantum dalam berita Depok terbaru hari ini, menunjukkan pola yang konsisten.
Mengapa Suara Ahli Kerap Terdengar Samar?
Dalam pertarungan antara sains dan politik, sains sering kalah karena dua alasan utama :
- Sifat Long-Term Gizi : Peningkatan kualitas asupan gizi tidak menghasilkan hasil yang instan dan bisa dipamerkan segera layaknya proyek infrastruktur. Elite politik cenderung memilih program dengan dampak visual dan political mileage yang tinggi dalam jangka pendek.
- Kepentingan Ekonomi : Rekomendasi ahli untuk diversifikasi pangan dan pengurangan konsumsi makanan olahan atau bergula seringkali bertabrakan langsung dengan kepentingan industri besar yang memiliki daya lobi kuat. Pilihan politik lantas jatuh pada yang paling tidak merugikan donatur atau kroni bisnis.
Pernahkah anda bertanya-tanya, mengapa edukasi tentang pangan lokal bergizi yang lebih murah tidak digencarkan? Jawabannya seringkali terletak pada jejaring politik dan ekonomi komoditas impor yang lebih menguntungkan segelintir pihak, meskipun mengorbankan kualitas asupan gizi warga.
Dampak Politization Gizi : Lebih dari Sekadar Angka Stunting
Ketika kualitas asupan gizi diabaikan demi kepentingan politis, konsekuensinya jauh melampaui statistik stunting semata. Kita berbicara tentang :
- Peningkatan Beban Penyakit Non-Menular (PTM) : Keputusan yang mempermudah akses ke makanan cepat saji dan minuman manis secara masif, meskipun menguntungkan produsen, merupakan bom waktu bagi peningkatan diabetes, hipertensi, dan obesitas di masa depan.
- Penurunan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM ): Kekurangan zat besi, yodium, dan protein esensial di masa tumbuh kembang, yang merupakan indikator buruknya kualitas asupan gizi sejak dini, secara permanen mereduksi potensi kognitif dan produktivitas generasi penerus.
- Kesenjangan Sosial : Kelompok masyarakat rentan menjadi yang paling parah terdampak, terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan malnutrisi yang diperburuk oleh kebijakan pangan yang tidak adil.
Refleksi dan Jalan Keluar yang Out of The Box
Memutus rantai ironi ini membutuhkan lebih dari sekadar mengkritik. Diperlukan sebuah mekanisme yang secara fundamental menempatkan sains dan kesehatan publik di atas pertimbangan politik jangka pendek .
- Mandat Independen untuk Komisi Gizi : Pembentukan badan independen (seperti Bank Sentral) yang secara legal wajib membuat rekomendasi gizi yang keputusannya harus dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah, bukan sekadar pelengkap formalitas.
- Transparansi Anggaran Pangan : Publik berhak tahu bagaimana dana subsidi dan bantuan dialokasikan dan komoditas apa yang dibeli. Keterlibatan aktif masyarakat sipil, seperti berita Depok terbaru hari ini yang menyoroti isu lokal, dapat menjadi pengawas yang efektif.
- Fokus pada Sistem Pangan, Bukan Hanya Komoditas : Kebijakan harus bergeser dari sekadar “memproduksi banyak” menjadi “memproduksi yang bernutrisi” dengan mendukung pertanian berkelanjutan dan pangan lokal yang kaya gizi.
Mewujudkan kualitas asupan gizi yang prima bagi seluruh warga negara adalah investasi jangka panjang. Jika penetapannya masih berkutat pada kepentingan politik sesaat dan mengabaikan pandangan ahli, maka masa depan kesehatan bangsa ini sedang dipertaruhkan di atas meja judgement yang keliru.
